Kamis, 06 Juni 2013

Cinta Dari Langit



Sebuah kereta baru saja melewati perbatasan Surabaya-Jawa tengah , Pagi itu aku kembali ke kotaku tercinta Solo. Tiga tahun  aku pergi dari solo untuk bekerja di Surabaya, tapi sebenarnya bukan itu tujuanku pergi, tapi ku ingin melupakanmu, Tio. Keretapun kembali beroperasi setelah tadi sempat berhenti di stasiun. Aku yang duduk disisi kanan kereta terus memandang keluar jendela. Aku termenung, tangan kananku memegang sebuah gelang rantai. Gelang rantai itu mengingatkanku pada seorang pemuda yang selalu kucintai. Dia adalah Tio, pemuda jalanan yang ugal-ugalan walaupun begitu dia istimewa untukku.  Lima tahun yang lalu aku bertemu dengannya disebuah taman dekat SMAku.
          Namaku Santi, aku adalah cewek biasa yang sedang bersekolah di SMA 1 Solo. Hari itu aku frustasi karena Nathan yang diam-diam kutaksir ternyata baru saja jadian dengan Lia. Aku dongkol, kenapa  cowok ganteng harus jadian sama cewek cantik. Akhirnya untuk mengungkapkan kekesalanku dengan aku pergi ke taman dekat sekolahku.
“Kenapa aku terus yang patah hati sich?”
“ Apa tidak ada seseorang yang tulus mencintaiku  apa adanya?”
“Aaaaaaaaaaarrgghhhhh,kenapa dunia tidak adil untukku?” teriakku kencang-kencang.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara tawa kecil “hahh” yang sepertinya mengejekku. Akupun menoleh kebelakang. Aku melihat pemuda bergaya punk dengan segala asessoris rantai di tubuhnya, beranjak meninggalkanku. Aku pun berdiri dan memanggilnya
          “oeee!”,teriakku. Diapun berpaling dan menatapku.
Sejenak aku menatap matanya dengan tajam penuh aura kebencian. Tapi tatapannya yang begitu tajam memandangku, membuatku takut. Akupun segera berpaling.
          “ gg..gag jadi! Pergi sana!” ucapku pada pemuda itu.  Sepertinya pemuda itu sudah pergi dari taman. Baru kali ini aku takut menatap seseorang. Hari itu aku habiskan waktu ditaman.
          Esoknya di sekolah, aku sengaja tidak keluar kelas. Aku hanya tidak ingin bertemu dengan Nathan dan Lia. Aku kesal sendiri jika membayangkan kemesraan mereka.  Tak kusangka kekesalanku membuatku nyenyak tertidur di kelas dan apesnya hari itu adalah jamnya Pak Kusno, guru matematika yang terkenal Killer. Dan benar sesuai dugaanku aku kena hukum mengerjakan tugas 2 kali lipat.
          “sial.. kesialan terus ikut denganku!” pikirku. Saat itu juga aku terbayang wajah pemuda berandalan yang kemarin aku temui. Aku merasa merinding sendiri. Sambil berjalan pulang, aku termenung.
          “jangan-jangan sialku hari ini gara-gara pemuda itu? Sial... !” kesalku.Tapi mau bagaimana lagi aku tidak berani untuk bertemu dia lagi. Aku hanya berharap tidak bertemu dia lagi. Setelah sampai rumah aku segera mengerjakan tugasku matematika tadi. Dari 20 soal aku hanya bisa 9 soal dan sisanya aku tidak mengerti sama sekali.
          “huahhuaaa bodohnya aku, begini saja tidak bisa, bodoh ..bodoh!”
         “ehh.. tapi tidak semua salahku kug, ya.. sebenarnya yang salah pak Kusno dengan soal-soalnya yang sulit. Guru itu sengaja membodohiku, sialan… !” pikirku
         “lebih baik  aku mengerjakan tugas ini di taman sajalah, siapa tau otakku jadi brilian dengan suasana baru! Yosssss… berangkat !”.
Akupun menuju taman dekat sekolahku. Seperti biasa, sore itu suasana taman sepi dan menenangkan, penuh aroma dedaunan , seluruh taman penuh dengan bunga-bunga, pohon-pohon kecil dan suara kicauan burung-burung kecil.
         “hahhhh (menghela napas) … nyamannya. Rasanya otak baru saja di refresh. Jadi malas ngerjain tugas!” teriakku
         “hari ini santai sajalah.. masa bodoh dengan tugas.. who’s care? I can’t finish it !”.
          “ You run again? Hahh!” kata seseorang di belakangku. 

Akupun menoleh ke belakang, dan benar saja sesuai dugaanku, pemuda punk kemarin sedang berdiri di belakangku. Dia menatapku tajam. Jantungku berdegup kencang, nafasku serasa sesak dan rasanya tenggoroan ini kering sampai aku tidak sanggup untuk bicara. Aku benar-benar takut. Dalam keadaan itu, akupun beranjak pergi darinya. Tapi, dia menangkap erat tanganku.
         “sampai kapan kamu seperti ini, selalu kabur dari masalah, itu semua hanya akan membuatmu semakin bodoh!” ucapnya.
Mendengar ucapannya, aku merasa kesal.
         “oeee! Apa hak kamu bilang seperti itu padaku. Memang kenapa kalau aku bodoh, hah!” jawabku kesal
         “ hah(menghela napas) .. susah ternyata ngobrol sama cewek bodoh macam kamu!” ucapnya
         “ ow.. kalau seperti itu, ya sudah, kamu hanya akan buang-buang waktu untuk bicara dengan orang bodoh seperti ku. Sekarang, lepaskan tanganku ! “ jawabku kesal.
Bukannya dia melepas tanganku, tapi malah menarikku menuju saung taman dekat
kolam ikan.
          “ Mana bukumu? Hari ini aku berbaik hati untuk mengajarimu!” tanyanya
          “tidak usah, makasih. Aku pergi saja!”jawabku marah.
Aku berusaha melepaskan genggamannya tapi malah dia semakin erat memegangku. Dia menatapku tajam. Karena takut akupun hanya bisa diam dan menurut. Sore itu aku diajari matematika oleh pemuda berandalan. Benar-benar tidak masuk akal. Tapi aku tidak menyangka pemuda punk seperti  itu sangat pandai.
          Setelah itu, beberapa kali aku bertemu dengannya. Pemuda punk bernama Tio. Dia mahasiswa salah satu univesitas swasta di solo. Penampilannya memang seperti itu. Tio berkata dia nyaman dengan penampilannya saat ini. Dia merasa menjadi dirinya sendiri walau banyak yang menyayangkan tentang penampilannya. Aku dan Tio semakin hari semakin akrab.  Aku merasa tidak canggung atau takut lagi dengannya. Aku merasa nyaman berada didekatnya. Beberapa kali aku ditolong oleh Tio . Seperti saat itu, waktu dompetku dicopet. Sorenya Tio datang  ke rumah dengan wajah lebam di kening.         Dia membawa dompetku dan bilang “ aku terlambat, uangnya sudah hilang tinggal dompet ini aja, dan pencopetnya sudah aku serahkan ke polisi. Nanti kamu diminta ke kantor polisi untuk dimintai keterangan”. Entah kenapa aku merasa di istimewakan saat itu. Tio juga sangat perhatian dan dia selalu ada untukku saat aku suntuk. Beberapa kali aku bolos sekolah hanya untuk bersenang-senang dengan Tio. Kami bersepeda, saling bergurau, dan memberi makan ikan di kolam ikan  taman. Sampai suatu ketika saat kami duduk di tepi kolam.
          “aku merasa lebih kuat kalau melihat kolam ini?”ucap tio.
          “ehh, kenapa?” tanyaku.
          “ dari kecil aku selalu bermasalah. Aku berkelahi pertama kalinya di sini. Saat itu aku menang..” ucapnya
          “ Kamu benar, kamu memang seperti kolam.” jawabku
          “ehh, kenapa?”tanyanya.
          “ra-ha-si-a. Hahahahaha”. jawabku menggodanya. Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan. Aku merasa semakin mencintainya tapi dia yang sempurna membuatku bernyali ciut untuk mengungkapkannya.
Aku tersadar dari lamunanku ketika kereta berhenti. Ternyata aku sudah sampai di kotaku tercinta, Solo. Untuk  sampai di desaku aku harus kembali naik becak motor. Perjalananku untuk sampai rumah adalah 10 km.
         “kamu memang seperti kolam tio, sederhana tapi memberi kehidupan untuk ikan kecil sepertiku”pikirku dalam Bemo.
Di dalam becak aku kembali termenung.   Saat itu hujan deras mengguyur solo, karenanya aku berteduh di halte bis. Tidak lama berselang banyak orang-orang yang datang. Perhatianku tertuju pada segerombol mahasiswa yang berlari dari seberang jalan untuk berteduh. Diantara 4 mahasiswa itu aku menemukan Tio diantara mereka. Aku senang sekali, lama sekali aku tidak bertemu Tio, dua bulan dia sulit dihubungi. Akupun menemuinya, dan menanyakan kabarnya. Tapi tak kusangka dia terlihat acuh dan seperti tak mengenaliku. Dia berlalu pergi meninggalkanku. Di tengah hujan deras dia berlari menghindariku. Aku sempat kesal padamu, Tio. Tapi aku tersadar, aku dan dirimu berbeda. Kamu sangat sempurna untuk diriku yang biasa.
         “Memang aku bodoh, harusnya aku sadar dari dulu. Harusnya aku tadi tidak  membuatnya malu di depan teman-temannya!” pikirku.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi ke taman dekat sekolah. Aku membenci tempat itu. Sudah satu bulan aku move on dari Tio. Aku sudah tidak ingin memikirkannya. Sampai suatu ketika aku bertemu Tio disebuah apotik. Kali ini dia berbeda, dia memakai sweater dan memakai topi kupluk. Dia terlihat pucat. Aku melihatnya membawa banyak obat dalam kantong. Aku memberanikan diri menyapanya, seperti biasa dia acuh kepadaku. Entah kenapa aku merasa ada yang tersakiti sehingga air mataku terjatuh merasakan sakit yang amat dalam.
          Secara tak sadar aku mendekat ke apoteker dan bertanya kepada apoteker tentang suatu hal. Mendengar jawaban dari apoteker aku terkejut, rasanya tubuh ini mati rasa. Rasanya aku tidak bisa mempercayai apa yang barusan aku dengar. Akupun segera berlari kencang mencari Tio. Aku berlari, dan berlari. Dalam tangis aku memanggilmu dan mencari sosoknya.
          “Tio..Tio..Tio..”teriakku
Dari kejauhan aku melihatnya. Aku melihat Tio. Aku segera berlari ke arahnya .  Tio menatapku tajam.
          “ kau! Kenapa kau disini ! pergi  kau dari hadapanku ! (tio memalingkan muka)”, ketus tio
Sambil menangis aku menampar Tio. Aku menatapnya tajam.
          “sudah puas kamu membohongi dan mengacuhkanku? Kenapa? Kenapa kamu tidak bilang padaku tentang penyakitmu? Kenapa kamu menyembunyikan segalanya? Kamu .. puas membuatku seperti ini!” teriakku.
          “tidak ada alasan untukku untuk berkata puas. Lagipula apa untung aku berkata jujur pada orang bodoh sepertimu? Buang-buang waktu saja!” ucapnya
          “yah…. Iya .. memang aku bodoh. Aku bodoh ..!” jawabku berlari menjahuinya.
Aku terkejut saat tahu kalau dia menderita sakit kanker selama tiga bulan belakangan ini. Aku merasa bersalah berfikiran yang buruk tentangnya . Selama dua hari aku tidak bisa tidur, aku hanya memikirkannya. Yang aku fikirkan hanya Tio. Akupun mencari informasi tentangnya.
          Sore itu aku pergi menuju rumah sakit Dr.Islan di solo. Aku menuju kamar 201. Saat aku sampai di depan pintu kamar aku menghela nafas dan menghapus air mataku. Akupun membuka pintu dan melihatnya terbaring menatap luar jendela.  Aku mendekat.
         “sedang apa kau disini, jangan melamun sore hari. Dasar kurang kerjaan!”ucapku mendadak.
Dia tersontak kaget.
          “kenapa kau disini, pergi sana!” ketusnya
         “jangan berani-berani kamu memerintahku, kamu tidak ada hak. Mulai sekarang aku yang akan merawatmu. Mumpung aku lagi berbaik hati!” ucapku
         “dasar bodoh.. kamu meniruku ya? Hahahahaha apa kamu tidak bisa berkata-kata lain. Dasar bodoh!”jawab Tio.
Sejak saat itu aku, aku selalu merawat Tio di Rumah sakit. Aku menemaninya, aku membuatkannya topi rajut, membuatkannya bubur ayam, memotongkan buah untuknya dan banyak sekali hal menyenangkan lainnya. Selama satu bulan lebih aku mencurahkan segala rasaku padanya. Sore itu, ketika aku tertidur di ranjangnya. Dia tiba-tiba membangunkannku.
         “Santi,  dulu kamu pernah bilang aku seperti kolam kan? Tapi aku ingin menjadi langit (menatap ke langit)” ucap Tio
          “ehh. langit, kenapa? “jawabku
         “ aku ingin selalu bisa melihat orang yang aku cintai dari atas. Aku ingin menjaganya dan selalu ingin bisa menemukanmu dari langit!” ucapnya.
          “ehh.. aku?”jawabku
         “yah.. kamu Santi. Selama ini aku mencintaimu. Dan sepertinya keberadaanmu di sini mengisyaratkan kalau kamu juga memiliki rasa yang sama. Iya kan?”ucap Tio
          “Kamu sok tau seperti biasa,menyebalkan!” jawabku ketus.
Saat itu aku sangat senang sekali karena Tio memiliki perasaan yang sama denganku. Setelah itu, Tio memberiku gelang rantainya.  Dan berkata,
         “ini akan selalu menjagamu dan berada di tanganmu. Kamu tidak perlu merasa kesepian jika sendiri. Tataplah langit dan pegang gelang ini. Aku akan datang untuk melihatmu dari langit!”ucap Tio
Sambil menangis aku bilang pada Tio
         “aku tidak ingin gelangmu. Aku ingin Tio!” jawabku
          “santi, tatap mataku dan jangan menangis. Tersenyumlah!”pinta Tio
Akupun tersenyum di depan tio. Dia terlihat lemah saat itu. Setelah dia membalas senyumku, dia menutup mata. Dan ternyata saat itu adalah saatku kehilangan Tio.
          “neng, sudah sampai neng,” ucap sopir bemo.
Akupun segera menghapus air mataku karena teringat masa-masa sedih itu. Aku berjalan menyusuri jalan. Dan kakiku terhenti saat aku sampai pada taman dekat SMA lamaku. Aku segera berlari menuju kolam ikan di sisi barat taman. Aku tiduran dekat kolam dan memandang jauh ke atas langit. Aku memegang gelang rantai itu.
          “Tio , aku sudah kembali!” teriakku kencang-kencang.
         

Tamat
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar